HUKUM
PENITENSIER
I.
Pengertian dan Tujuan Hukum Penitensier
A. Hukum
Penintensier
Hukum
Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau
peraturan-peraturan yang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan
hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum.
Hukum
penintensier adalah hukum yang berkenaan dengan tujuan daya kerja dan organisasi
dari lembaga-lembaga pemidanaan.
Secara
harfiah hukum penintensier itu dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari
norma-norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan.
Menurut
Bemmelan, hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja organisasi dari
lembaga-lembaga pemidanaan
W.H.A
Jonkers menyebut penitentiar recht
(hukum penetensier) sebagai strafrechttelijk
atau bahasa Indonesianya hukum sanksi kepidanaan (J.M van
Bemmelen-J.P.Balkema-Th.W.van Veen, 1987:28)
Tujuannya
adalah apa yang ingin dicapai orang dengan pemidanaannya itu yaitu melalui
suatu organisasi.
Peraturan-peraturan Perundang-undangan yang mengandung
norma-norma sebagai keseluruhan yang disebut sebagai hukum penintensier adalah
:
1. Buku I dan II KUHP
2. Ordonantie 27
Desember 1917 yaitu tentang ketentuan pembebasan bersyarat.
3. Ordonantie 6
November 1926
4. STBL No 4/1987
tentang peraturan pelaksanaan pemidanaan bersyarat
Hukum
Penintensier yaitu bahagian dari hukum pidana yang mengatur/memberi aturan
tentang sistem sanksi dalam hukum pidana.
Aturan-aturan
tersebut meliputi tentang ketentuan pemberian pidana tindakan serta eksekusi
sanksi pidana. Ketentuan-ketentuan pidana itu meliputi :
1. Jenis-jenis sanksi
pidana
2. Ukuran pemidanaan
3. Bentuk dan cara pemidanaan
Masalah pokok didalam Hukum Penitensier:
1. Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )
2. Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)
3. Terpidana ( siapa yang diproses
B. Tujuan Hukum Penintensier
Tujuan
dari hukum penintensier adalah agar yang berhubungan dengan hukuman seseorang
dapat dilaksanakan dengan baik. Hukuman penintensier baru dapat dilaksanakan
apabila sudah ada putusan dari hakim.
Di
dalam hukum pidana terkandung ada 3 konsep yang dapat dianggap sebagai
konsep-konsep dasar dalam hukum pidana, ketiga konsep itu meliputi :
1.
Tindak pidana/perbuatan pidana (criminal oppense)
2.
Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility)
3.
Pemidanaan (Punishment)
Ketiga
konsep dasar ini adalah oleh “HERBERT” dianggap sebagai Resionde Hukum Pidana,
sebab ketiganya akan tergambar adanya 3 permasalahan pokok dalam hukum pidana.
Konsep
yang pertama (1)
yaitu tindak pidana akan menggambarkan permasalahan pokok mengenai apa ukuran
yang menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
Konsep
ya yang kedua (2)
yaitu menyangkut ukuran apa yang dapat digunakan untuk menentukan
pertanggungjawaban pidana seseorang yang dinyatakan sebagai pelaku tindak
pidana.
Ko konsep ketiga (3)
yaitu menggambarkan permasalahan pokok menyangkut bentuk sanksi yang
bagaimanakah yang dapat ditimpakan kepada seseorang yang terbukti telah
melakukan suatu tindak pidana.
Selama
ini boleh dikatakan bahwa perhatian ahli hukum pidana dan kriminologi lebih
banyak tertuju hanya kepada permasalahan yang tergambar pada konsep pertama (1)
dan yang kedua (2) saja. Sementara masalah pidana dan pemidanaan itu lebih
berkesan dan seolah-olah hanya dianggap sebagai anak tiri dalam hukum pidana.
Anggapan seperti ini tidak dapat dibenarkan karena pidana dan pemidanaan itu
memiliki fungsi dan kedudukan yang strategis dalam pemidanaan. Sebab tanpa
adanya pidana dan pemidanaan itu tidak akan mungkin dinamakan hukum pidana
apabila tidak ada unsur pidana didalamnya.
II. Pidana dan Pemidanaan
A. Istilah Pidana
Prof.Van
Hammel mengartikan pidana (straf)
menurut hukum positif sebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Penderitaan tersebut menurut Van Hammel dijatuhkan oleh kekuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai pertanggung jawab
ketertiban umum bagi seorang pelanggar,
oerang tersebut penderitaan itu dikenakan semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh
Negara[1][1].
Sementara itu Prof.Simon juag mengartikan
pidana (straf) sebagai suatu penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang,
penderitaan tersebut oleh undang-undang pidana dikaitkan dengan telah
terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah[2][2].
Kedua
ahli hukum pidana Belanda ini memiliki pandangan yang sama dalam memberikan
batasan tentang pidana, yang pada hakikatnya adalah suatu penderitaan. Namun
dapat dipahami, bahwa penderitaan tersebut bukanlah merupakan suatu tujuan
melainkan hanyalah semata-mata sebagai alat yang digunakan oleh Negara untuk
mengingatkan agar orang tidak melakukan kejahatan.
Zeven
Berger mengatakan bahwa hukum pidana itu merupakan ULTIMUM REMEDIUM artinya
sesuatu yang dapat dilakukan apabila tidak ada cara lain.
Prof.Mulyatno
berpendapat bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata straf dan istilah dihukum itu berasal dari perkataan “wordt gestraf” adalah istilah-istilah
yang konvensional[3][3].
Menurut
Prof. Mulyatno, mengemukanan pengertian hukum pidana itu adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk[4][4]:
1.
Menetukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang yang disertai
atau dikenai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
2.
Menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
3.
Menentukan dengan bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Jika
dibaca pendapat W.P.J Pompe, mengenai hukum pidana yang mengatakan[5][5]: “hukum pidana
adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menunjukkan
perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu
seharusnya terdapat”. Hampir sama dengan itu,D.Hazeqinkel-Suringa mengatakan[6][6]: “Jus Poenale” (hukum pidana materiel) adalah
sejumlah pertaturan yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang
terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa
yang mewujudkannya”
Para
ahli hukum pidana Indonesia ternyata juga memiliki pandangan yang sama dalam
memahami dan memberikan alasan terhadapa konsep pidana.
Menurut
Prof. Sudarto, secara tradisonal pidana dapat didefenisikan sebagai nestapa
yang dikenakan olehe Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa[7][7].
Sementar
itu Prof. Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik dan ini
berujud suatu stapa yang dengan sengaja ditimpakn Negara pada pembuat delik itu[8][8].
Dalam
memberikan pemahaman terhadap konsep pidana, maka setelah mengemukakan berbagai
defenisi akhirnya Prof. Muladi sampai kepada sebuah kesimpulan tentang
unsure-unsur atau cirri-ciri yang terkandung di dalam pidana yaitu[9][9]:
1.
Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenagkan.
2.
Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang)
3.
Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.
Terdapat
kesamaan pendapat dalam memahami penderitaan pidana, dimana salaha satu
karakteristiknya adalah adanya pengenaan atau penderitaan dengan sengaja. Ciri
ini erat kaitannya dengan sifta hukum pidana yang dengan sengaja mengenakan
penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui didalam hukum.
Pemberian nestapa atau penderitaan yang (sengaja dikenakan kepada seorang
pelaku yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana adalah dimaksudkan untuk
menimbulkan efek penjeraan, sehingga orang tidak melakukan tindak pidana, dan
pelaku tidak lagi mengulangi melakukan kejahatan.
B. Istilah Pemidanaan
Setelah
dipahami pengertian pidana, pertanyaan yang selanjutnya adalah apa yang
dimaksud dengan pemidanaan. Menurut Prof. Sudato perkataan pemidanaan adalah
sinonim dengan istilah penghukuman. Penghukuman ini berasal dari kata hukum,
sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hhukumnya[10][10].
Menetapkan
hukum untuk suatu peristiwa itu tidaklah hanya menyangkut bidang hukum pidana
saja, tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu sepanjang menyangkut
penghukuman dalam lapangan hukum pidana, maka istilah penghukuman harus
disempitkan artinya, yaitu penghukuman dalam perkara pidana. Untuk menyebut penghukuman
dalam perkara pidana dapat dipakai perkataan pemidanaan atau pemberian
(penjatuhan) pidana oleh hakim.
Pemidanaan
adalah penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan realisasi dari ketentuan
pidana dalam undang-undang yang bersifat abstrak yang ditetapkan oleh hakim
melalui penetapan hukum dan memutuskan hukumnya.
C.
Pemidanaan Anak
Masalah pemidanaan
anak diatur oleh UU No.3 Tahun 1997
1. Tindak
pidana anak
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a. Anak yang
melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna
bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur[11][11]:
- adanya perbuatan manusia
- perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
- adanya kesalahan
- orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan
1) Status Offence adalah
perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap
sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari
rumah ;
2) Juvenile
Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.
Namun terlalu extrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak
disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi
kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis,
agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu
ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan
kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang
dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.
1. Faktor lingkungan
2. Faktor ekonomi/ sosial
3. Faktor psikologis
Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan bahwa
seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri
dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang
menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak
merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang
lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana pelaku harus menyadari
akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap
perbuatannya tersebut.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau
yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak anak; anak
muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan / mengabaikan yang
kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai
tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam
suatu masyarakat[14][14].
Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut
bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu
perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsurunsur anti normatif[15][15].
“Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila,
atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi)
secara social pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah
laku yang menyimpang”.
“setiap perbuatan atau tingkah
laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan
pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan
perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang
dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan
anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila
dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan
(crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang
yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).
Hal ini yang kemudian muncul sebuah teori oleh Sutherland (1966) yang
disebut dengan teori Association Differential yang menyatakan bahwa anak
menjadi Delinkuen disebabkan oleh partisipasinya ditengah-tengah suatu
lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sebagai
sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas
anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi
semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferential tersebut dan
semakin besar pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan
kriminal.
Shanty Dellyana dalam bukunya wanita dan anak di mata hukum mengutip
pendapat dari Robert K Merton dan Nisbet mengemukakan bahwa:
anak-anak yang
berumur dibawah 7 tahun dianggap tidak mampu untuk mempunyai kehendak jahat (incapable
of having the criminal intent)
Sedangkan mereka yang
berumur antara 7 sampai 14 tahun pada umumnya dianggap mampu untuk mempunyai
kehendak jahat, berarti tidak dapat melakukan kejahatan (incapable of crime)[18][18].
2.Faktor-faktor
penyebab Anak melakukan tindak pidana
Sebenarnya banyak faktor yang
menyebabkan anak melakukan tindak pidana, bahkan berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh UNAIR pada tahun 2003 terhadap anak-anak yang melakukan
tindak pidana di Jawa Timur sebagian besar karena kondisi ekonomi yang tidak
mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan masyarakat
yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak
harmonis (66,15%). Dari hasil penelitian ini penyebab utama yang paling besar adalah
karena kondisi ekonomi yang tidak mampu dengan presentase sebanyak 74,71%.
Kondisi ekonomi yang tidak mampu memang bisa membuat anak berbuat jahat apabila
imannya kurang dan keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang tuanya,
tindakan yang dilakukannya bisa berbentuk pencurian benda yang di inginkannya[19][19].
Selain itu, adanya dampak
negative dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang pada gilirannya sangat
berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak Hal yang sama juga diperoleh
melalui adegan-adegan kekerasan secara visualisasi, khususnya melalui media
elektronik (televisi). Melalui tingginya frekuensi tontonan adegan kekerasan
akan melahirkan apa yang di sebut dengan “kultur kekerasan”. Hal ini akan
menimbulkan penggunaan tindak kekerasan yang mengarah kepada tindak pidana sebagai
solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk anak. Anak juga bisa
melakukan tindak pidana karena terinspirasi dari tayangan film yang bernuansa
pornografi dan pornoaksi. Sehingga dalam berbagai kasus ada anak yang sampai
tega memperkosa teman sepermainannya setelah menonton film porno.
2. Proses Pemidanaan terhadap Anak di bawah umur pada
tingkat penyidikan
a. Kategori
anak yang melakukan tindak pidana dan jenis pidana yang akan dijatuhkan
Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan lebih lanjut, kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1 angka 2 yang berbunyi :
Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan lebih lanjut, kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1 angka 2 yang berbunyi :
1. Anak yang
melakukan tindak pidana.
2. Anak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan
tindak pidana diatur dalam pasal 4, yaitu :
- Batas umur
anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
- Dalam hal
anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di maksud dalam ayat
(1) dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui
batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun tetapi di ajukan ke sidang anak.
Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak di bawah
umur yang melakukan kejahatan yang memang layak untuk diproses adalah anak yang
telah berusia 8 tahun dan diproses secara khusus yang berbeda dengan penegakan
hukum terhadap orang dewasa. Tetapi pada prakteknya penegakan hukum kepada anak
nakal terkadang mengabaikan batas usia anak. Contohnya pada kasus Raju yang di
sidang di Pengadilan Negeri Atabat Langkat, saat itu dia baru berusia 7 tahun 8
bulan.
Tegasnya, anak yang melakukan kejahatan jika dia belum
berusia 8 tahun seharusnya tidak diproses secara hukum seperti anak yang telah
berusia 8 tahun. Bagi anak yang melakukan tindak pidana yang akan di ajukan ke
sidang pengadilan anak harus ditangani oleh hakim yang khusus menangani perkara
anak dan petugas-petugas yang khusus menangani perkara anak. Seperti yang
tercantum dalam pasal 1 angka 5 sampai 8 Undang-Undang No.3 tahun1997 :
1. Penyidik
adalah penyidik anak
2. Hakim
adalah hakim anak
3. Hakim
banding adalah hakim banding anak
4. Hakim kasasi adalah hakim kasasi anak
Dalam pelaksanaannya sidang pengadilan bagi anak adalah tertutup dan suasana pada sidang anak harus menimbulkan keyakinan pada anak dan orang tua bahwa hakim ingin membantu memecahkan masalah pada anak, sebagaimana yang di atur dalam pasal 6 dan pasal 8 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal
6
Hakim, penuntut umum, penyidik
dan penasehat hukum serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga
atau pakaian dinas.
Pasal 8
1. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup
2.
Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.
3.
Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang
bersangkutan beserta orang tua, wali, orang tua asuh, penasehat hukum dan
pembimbing kemasyarakatan.
4.
Selain mereka yang disebutkan dalam ayat 3, orang-orang tertentu atas ijin
hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1.
5.
Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum
pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua,
wali atau orang tua asuhnya.
Dalam hal jenis pidana dan berat
ringannya pidana pada anak yang melakukan tindak pidana dapat dilihat pada
pasal 22 sampai pasal 32 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 22
Terhadap anak nakal hanya dapat
dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 23 ayat 3 menetapkan :
Selain pidana pokok sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat 2 terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana
tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.
Lalu pasal 24 ayat 1 menetapkan :
Tindakan
yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah :
1.
Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
2.
Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja.
3.
Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Pasal
26 ayat 1 menetapkan :
Pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf
a, paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Pasal
26 ayat 2 menetapkan :
Apabila anak nakal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka2 huruf a, melakukan tindak pidana yang di ancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang
dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
b. Proses pemidanaan pada tingkat penyidikan
Sebelum kita ketahui lebih jauh
mengenai proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan,
kita akan bahas terlebih dahulu mengenai pengertian penyidikan itu sendiri.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP,
yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi guna menemukan tersangkanya. Dalam KUHAP sendiri dikenal ada dua macam
pejabat penyidik, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik
POLRI) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk perkara tindak pidana yang
dilakukan oleh anak-anak pada umumnya adalah ketentuan yang dilanggar dari
peraturan pidana yang ada di KUHP, maka penyelidikannya dilakukan oleh penyidik
umum yaitu penyidik POLRI. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia yang sekurang-kurangnya pembantu Letnan dua (PELDA) Polisi (sekarang
Ajun Inspektur dua Polisi). Meskipun penyidiknya adalah penyidik dari POLRI
tapi bukan berarti penyidik POLRI bisa melakukan penyidikan terhadap kasus anak
nakal. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dikenal
dengan adanya penyidik anak, penyidik inilah yang berwenang melakukan
penyidikan. Mengenai penyidikan diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No.3 tahun
1997, yang antara lain :
1.
Penyidik terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang diterapkan
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
2.Syarat-syarat
untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah :
•
Berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa.
•
Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
3.
Dalam hal tertentu dan dipandang perlu tugas penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada :
•
Penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa; atau
•
Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Lalu bagaimana proses dari
pemidanaan itu sendiri pada tingkat penyidikan? Proses dari pemidanaan terhadap
anak di bawah umur pada tingkat penyidikan telah diatur dalam pasal 42
Undang-Undang No.3 tahun 1997. Pasal 42 menetapkan :
1.
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan
2.
Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama
atau petugas kemasyarakatan lainnya.
3. Proses penyidikan terhadap
perkara anak nakal wajib dirahasiakan.
Setelah melakukan penyidikan dapat dilanjutkan dengan penahanan dan penangkapan terhadap anak nakal, sebagaimana tercantum dalam pasal 43, 44 dan pasal 45 Undang-Undang No.3 tahun 1997. Menurut pasal 1 butir 2 KUHP penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, sedangkan penahanan adalah penempatan terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tidak dicantumkan mengenai tindakan penangkapan anak, oleh karena itu dalam hal ini yang digunakan adalah KUHAP sebagai peraturan umumnya.
Untuk melakukan penangkapan seorang anak, maka penyidik anak wajib memperhatikan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada yang ditangkap. Surat perintah penangkapan itu berisi tentang identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa. Apabila seorang anak nakal tertangkap tangan, maka penangkapannya tidak dilakukan dengan surat perintah dan yang melakukan penangkapan tidak harus dilakukan oleh penyidik anak. Pasal 18 ayat (2) KUHAP memerintahkan kepada penyidik bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Lamanya penangkapan anak nakal sama dengan orang dewasa yaitu paling lama satu hari (pasal 19 ayat 1 KUHAP).
Setelah melakukan penyidikan dapat dilanjutkan dengan penahanan dan penangkapan terhadap anak nakal, sebagaimana tercantum dalam pasal 43, 44 dan pasal 45 Undang-Undang No.3 tahun 1997. Menurut pasal 1 butir 2 KUHP penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, sedangkan penahanan adalah penempatan terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tidak dicantumkan mengenai tindakan penangkapan anak, oleh karena itu dalam hal ini yang digunakan adalah KUHAP sebagai peraturan umumnya.
Untuk melakukan penangkapan seorang anak, maka penyidik anak wajib memperhatikan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada yang ditangkap. Surat perintah penangkapan itu berisi tentang identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa. Apabila seorang anak nakal tertangkap tangan, maka penangkapannya tidak dilakukan dengan surat perintah dan yang melakukan penangkapan tidak harus dilakukan oleh penyidik anak. Pasal 18 ayat (2) KUHAP memerintahkan kepada penyidik bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Lamanya penangkapan anak nakal sama dengan orang dewasa yaitu paling lama satu hari (pasal 19 ayat 1 KUHAP).
Pasal 43 menetapkan :
1.
Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP
2.
Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan
pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.
Setelah tindakan penangkapan,
dapat dilakukan tindakan penahanan, penahanan ialah penempatan tersangka atau
terdakwa ke tempat tertentu oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau
hakim anak dengan penetapan, Undang-Undang No.3 tahun 1997 dan KUHAP menentukan
bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Menurut pasal 21 ayat 1 KUHAP,
alasan penahanan adalah karena adanya kekhawatiran melarikan diri, agar tidak
merusak atau menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi tindak
pidana. Sedangkan menurut Hukum Acara Pidana, menghilangkan kemerdekaan
seseorang tidak merupakan keharusan tetapi untuk mencari kebenaran bahwa
seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan
penangkapan dan penahanan.
Pasal 44 menetapkan :
1.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat
(1) dan ayat (3) huruf a berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang di
duga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2.
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama
20 (dua puluh) hari.
3.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna
kepentigan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat
diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 10 (sepuluh)
hari.
4.
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada penuntut umum.
5.
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas
perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.
6.
Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan
Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang
No.3 tahun 1997 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik
berwenang melakukan penahanan anak yang di duga keras melakukan tindak pidana
(kenakalan) berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup kuat. Penahanan
dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun ke atas atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh
Undang-Undang.
Jangka waktu penahanan untuk
kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh) hari, untuk
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 10
(sepuluh) hari. Dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik
harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Dalam hal ini
apabila anak ditangkap atau ditahan secara tidak sah (tidak memenuhih syarat
yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang), maka anak atau keluarganya atau
penasehat hukumnya dapat meminta pemeriksaan oleh hakim tentang sahnya
penangkapan atau penahanan dalam sidang pra-peradilan.
Pasal 45 menetapkan bahwa :
1.
Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan
anak dan atau kepentingan masyarakat.
2.
Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus di nyatakan secara
tegas dalam surat perintah penahanan.
3.
Tempat penahanan anak harus di pisahkan dari tempat penahanan orang dewasa.
Selama anak di tahan, kebutuhan
jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap di penuhi.
Sesuai dengan pasal 45 ayat (1)
Undang-Undang No.3 tahun 1997 dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya
melibatkan pihak yang berkompeten seperti Psikolog, Pembimbing kemasyarakatan,
atau ahli lain yang diperlukan sehingga penyidik anak tidak salah dalam
mengambil keputusan. Pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997,
pelanggaran dan kelalaian atas pasal tersebut tidak diatur secara tegas akibat
hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Sanksi yang dapat diberikan kepada
penyidik anak telah diatur tetapi akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut
tidak jelas. Perkembangan hukum di bidang pengadilan anak semakin menunjukkan
adanya kelemahan KUHAP, terutama yang menyangkut masalah pra-peradilan. Lalu
pada pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, penahanan anak
seharusnya di tempatkan secara terpisah dari narapidana anak yang lain dan
tidak boleh di gabung dengan tahanan orang dewasa, hal ini untuk mencegah
akibat negative dari pengaruh narapidana anak dan orang dewasa apabila si anak
belum terbukti melakukan kesalahan atau tindak pidana.
3. Hak-hak pada
tersangka atau terdakwa anak
Selain anak mempunyai
hak untuk di lindungi, anak juga mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa,
adapun hak-hak tersebut menurut KUHAP adalah:
1. Setiap anak nakal sejak saat di tangkap atau di
tahan berhak mendapat bantuan hukum dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan.
2. Setiap anak nakal yang di tangkap atau di tahan
berhak berhubungan langsung dengan penasehat hukumnya tanpa di dengar oleh pejabat
yang berwenang.
3. Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani, rohani dan
sosial harus di penuhi.
4. Tersangka anak berhak mendapatkan pemeriksaan oleh
penyidik dan selanjutnya di ajukan ke pengadilan.
5. Tersangka anak berhak untuk segera di adili oleh
pengadilan.
6. Untuk mempersiapkan pembelaan tersangka, anak
berhak di beritahukan dengan jelas dalam bahasa yang di mengerti olehnya.
7. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
pengadilan, tersangka anak berhak untuk setiap waktu mendapat juru bahasa,
apabila ia tidak paham bahasa Indonesia.
8. Dalam hal tersangka anak bisu atau tuli, ia berhak
mendapatkan bantuan penerjemah orang yang pandai bergaul.
9. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi penasehat hukum sesuai dengan ketentuan KUHAP.
10. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan
penahanan berhak di beritahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat
yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada
keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa anak
yang bantuannya di butuhkan oleh tersangka atau terdakwa anak.
11. Tersangka atau terdakwa anak berhak menghubungi
dan menerima kunjugan dari pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan
tersangka atau terdakwa anak.
12. Tersangka atau terdakwa anak berhak secara
langsung atau dengan perantara penasihat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara
tersangka atau terdakwa untuk kepentingan keluarga.
13. Tersangka atau terdakwa anak berhak menghubungi
dan menerima kunjugan rohaniawan.
14. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk di adili
di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
15. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk
mengusahakan dan mengajukan saksi guna memberikan keterangan.
16. Tersangka atau terdakwa anak tidak di bebani
dengan kewajiban pembuktian.
17. Tersangka atau terdakwa anak berhak menuntut ganti
rugi dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam pasal 95 KUHAP.
Dengan di aturnya
hak-hak di atas walaupun tersangka atau terdakwa masih anak-anak, petugas
pemeriksaan tidak boleh menghalang-halangi penggunaannya dan sebaiknya sejak
awal pemeriksaan sudah diberitahukan hak-hak tersebut.
Tentang anak ini bila
melihat pasal 44 KUHP disebutkan apa yang disebut anak itu adalah manusia yang
belum berumur 16 tahun, dan pasal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang baru
lahir pun mengandung arti dapat di pidana sekalipun hal yang demikian mustahil.
Di dalam UU No.3
tahun 1997 telah digunakan model batasan usia tentang usia yang disebut seorang
anak yaitu 10 tahun sampai 18 tahun. Lahirnya UU No. 3 tahun 1997 langsung
mencbut pasal 44 tentang batasan usia.
Tentang hukuman apa
yang dapat dijatuhkan terhadap anak apabila seorang anak melakukan tindakan
pidana tidak diancam pidana mati, maka :
· Hakim harus menjatuhkan pidananya dikurung 1/3
apabila tindakan pidan tersebut dilakukan oleh orang dewasa.
· Hakim dapat memutuskan apabila anak yang melakukan
tindak pidana dikembalikan kepada orang tuanya.
· Dipidana sebagai anak negara untuk di didik di Lembaga
Pemasyarakatan anak.
Proses pemidanaan
bagi seorang anak yang melakukan tindak pidan berdasarkan UU No.3 Tahun 1997
antara lain dikatakan sejak tingkat penyidikan sampai proses sidang di
pengadilan harus bersifat tertutup untuk umum dan aparat penegak hukumnya tidak
menggunakan pakaian uniform (seragam dinas).
Pelaksanaan
pemidanaannya berdasarkan UU peradilan anak bahwa di LP anak, anak pidana ini
harus mendapatkan pendidikan lanjutannya. Di dalam UU peradilan anak telah
ditentukan bahwa anak hanya boleh dipidana maximal 10 tahun, dengan kata lain
terhadap seorang anak tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup dan pidana
mati.
D.
Perkembangan pemidanaan
Pada zaman
dahulu kala bentuk pemidanaan yang dijatuhkan kepada suatu masyarakat yang
teratur kepada seorang penjahat adalah dalam bentuk :
1. Menyingkirkan/melumpuhkannya sehingga penjahat itu tidak lagi mengganggu
masyarakat pada masa yang akan datang. Penyingkiran itu dapat dilakukan dengan
bermacam-macam cara.
Misalnya :
Membuang/mengirim si penjahat ke seberang lautan. Pidana berupa pembuangan ini
mencapai puncaknya di Inggris pada abad pertengahan dan akhir. Dimana banyak
orang Inggris yang melakukan kejahatan diasingkan ke Australia. Di Indonesia
terutama pada zaman Hindia Belanda pidana ini banyak juga dilakukan pada
orang-orang politik.
2. Kerja paksa
Misalnya : Kerja
paksa mendayung kapal yang banyak dilakukan pada abad ke-17. Cara-cara kerja
paksa seperti itu lama kelamaan menjadi hilang di Eropa. Pidana kerja paksa ini
pernah juga dilakukan dalam bentuk paksaan untuk memutar roda yang sangat
banyak menguras tenaga para napi sehingga mereka tidak memiliki kesempatan
untuk memberontak. Di Hindia Belanda kerja paksa dalam bentuk pembuatan jalan
raya/membuat lubang-lubang dalam benteng pertahanan di zaman Jepang.
3. Pidana mati
Di deretan panjang
jenis-jenis sanksi pidana dalam sejarah pemidanaan sanksi yang terberat adalah
menghabisi nyawa si penjahat yang disebut dengan pidana mati.
Cara-cara
pidana mati pada zaman dahulu adalah sebagai kegiatan dengan ditarik kereta ke
jurusan berlawanan. Ada pula yang dikubur hidup-hidup, digoreng dengan minyak,
ditenggelamkan ke laut, jantungnya dicopet atau dirajam sampai mati.
Pidana mati
seperti yang tersebut di atas lama kelamaan dilakukan dengan memberikan
perhatian terhadap kemanusiaan sehingga akhirnya dikenal dengan pidana mati
dengan cara dipotong, penggantungan di tiang gantungan, ditembak mati,
disentrum dan sebagainya.
E.
Konsep-Konsep Pemidanaan
Bahwa
pemidanaan yang diatur dalam KUHP dimulai dari pasal KUHP. Pasal KUHP ini
sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan pemidanaan oleh hakim. Pasal 10 KUHP
menyebutkan dua jenis hukuman yaitu :
1. Hukuman Pokok
2. Hukuman tambahan
Termasuk
hukuman pokok adalah hukuman “tutupan”, sedangkan hukuman tambahan adalah
“perampasan, pengumuman keputusan hakim”. Hal ini kemudian berkembang terutama
dalam tindak pidana diluar KUHP misalnya dalam delik ekonomi tindakan tata
tertib sementara.
Timbul
permasalahan sampai detik ini pasal 10 KUHP belum berubah berubah baik
konsepnya maupun yuridisnya meskipun dalam praktek pelaksanaannya berbeda.
Dalam praktek tidak ada penjara yang ada lembaga pemasyarakatannya. Jadi,
konsepnya berubah. Konsep pidana masih tetap sama dengan konsep waktu W.V.S
(Wet Boek van Strafrecht) Belanda muncul pertama kali pada tahun 1811. Orang
yang dijatuhi pidana penjara harus masuk dan tinggal dibelakang tembok penjara.
Konsep dalam masalah pemidanaan :
Orang
yang dipidana harus menjalani pidananya dibelakang tembok penjara. Ia
diasingkan dari masyarakat ramai, terpisah dari kehidupannya yang biasa.
Seperti yang telah dikatakan penjara itu sendiri berasal dari kata “penjera”,
supaya orang itu jera tidak berbuat melanggar hukum lagi. Pembinaan dilakukan
dibelakang tembok penjara itu. Belakangan ini timbul konsep dan usul baru dari
kalangan masyarakat agar lebih diperhatikan perlakuan kemanusiaan terhadap
terpidana. Orang mulai memikirkan misalnya tentang kebutuhan biologis dan
sebagainya. Kalau sudah demikian maka tujuan pidana berupa penjeraan terhadap
terpidana dapat berubah. Sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah selain
tujuan penjeraan terhadap terpidana yang bagaimanapun tidak dapat dihilangkan
dalam suatu system pidana, perlu pula dipikirkan lebih mendalam tentang
sosialisasi bukan hany masyarakat, hal ini bias terjadi jika masyarakat mau
menerima. Dan tidak akan terjadi jika masyarakat beranggapan bahwa orang yang
melakukan tindak pidana harus dibina didalam tembok.
F. Tujuan
Pemidanaan
Sesuai
dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada
perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan
hidup dalam masyarakat dengan memperhatukan kepentingan masyarakat/negara,
korban dan pelaku[20][20].
Atas
dasar dan tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang
bersifat[21][21] :
- Kemanusiaan,
dalam arti bahwa pemidanaan tersebut, menjunjung tinggi harkat dan martabat
seseorang.
- Edukatif, dalam
arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan
yang dilakukan dan menyebabkan iamempunyai sikap jiwa yang positif dan
konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
- Keadilan, dalam
arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh
korban ataupun oleh masyarakat)
Teori-teori
pemidanaan yang banyak dikemukakan oleh para sarjana mempertimbangkan berbagai
aspek sasaran yang hendak dicapai, didalam penjatuhan pidana, yang dalam hal
ini tidak terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dihayati oleh para
sarjana tersebut.
Secara
tradisional teori-teori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan
pemidanaan) pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu[22][22]:
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive/vergeiding theorien)
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian/doeltheorien)
Teori Absolut,
menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest)[23][23].
Menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak
boleh tidak, tanpa tawar menawar.Seseorang mendapat pidana oleh karena
melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya
pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat
kemasa depan. “ Utang pati nyaur pati,
utang lara nyaur lara”. Yang berarti sipembunuh harus dibunuh, sipenganiaya
harus dianiaya.“Pembalasan” (vergelding)
oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk memidana suatu
kejahatan.Apabila ada seseorang oknum yang langsung kena atau menderita karena
kejahatan itu, maka kepuasan hati itu terutama ada pada si oknum itu[24][24].
Dalam hal pembunuhan
kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya dan masyarakat umumnya.
Dengan meluasnya kepuasan hati pada sekumpulan orang, maka akan mudah juga
meluapkan sasaran dari pembalasan pada orang lain dari pada sipenjahat, yaitu
sanak saudara atau kawan-kawan karib. Maka unsur pembalasan, meskipun dapat
dimengerti tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu
pidana.
Teori relative,
menurut teori ini memidana bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari
keadilan.Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sasaran untuk melindungi kepentingan masyarakat.Oleh karena itu menurut
J.Andenaes, teori ini dapat disebut sebgai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence)[25][25].
Sedangkan menurut
Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena
dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi
kejahatan[26][26].Oleh
karena itu para penganutnya dapat disebut golongan Reducers (penganut teori reduktif).
Pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimabalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat.Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).Jadi dasar
pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana
dijatuhkan bukan quita peccatumest
(karena orang membuat kejahatan) melainkan ne
peccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan)[27][27].
Disamping pembagian
secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti dikemukakan diatas, terdapat
teori ketiga yang disesut teori gabungan (Verenigings
Theorieen).Penulis yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini adalah
Pellegrino Rossi (1787-1818)[28][28].
Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya
pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun ia berpendirian
bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak
dalam masyarakat dan prevensi general[29][29].
III.
Jenis-jenis Pidana dalam KUHP
Jenis-jenis pidana dalam KUHP yang menentukan bahwa
perbuatan pidana atau hukuman dapat dipahami sebagai suatu penderitaan atau
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh negara kepada setiap orang yang
terbukti telah melanggar aturan-aturan pidana yang terdapat dalam UU.
Penderitaan berupa pidana yang dapat ditimpakan itu haruslah sesuatu yang
secara eksplisit ditentukan dalam UU. Artinya orang tidak dapat dikatakan
sanksi berupa pidana diluar dari apa yang telah ditentukan di dalam UU. Oleh
karena itu dalam hal penjatuhan pidana hakim tidak terikat pada jenis-jenis
sanksi pidana yang telah ditetapkan oleh UU.
Ini
sudah merupakan pendirian dari Mahkamah Agung RI yang secara tegas menentukan
dalam putusan MA RI tanggal 11 Maret 1970 No. 59K/KR/1969 dan putusan MA RI
tanggal 13 Agustus 1974 No. 61 K/KR/1973 yang menentukan bahwa : Perbuatan
menambah jenis-jenis pidana yang telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP dengan
lain-lain jenis pidana adalah terlarang.
Hukum
pidana Indonesia menentukan jenis-jenis pidana itu atas pidana pokok dan pidana
tambahan. Hal tersebut disebutkan secara tegas pada pasal 10 KUHP yang berbunyi
:
Pidana terdiri atas :
1.
Pidana pokok
a.
Pidana mati
b.
Pidana penjara
c.
Pidana kurungan
d.
Pidana denda
2.
Pidana tambahan
a.
Pencabutan hak-hak tertentu
b.
Perampasan barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
Kemudian
pada tahun 1946 dengan UU No. 20 tahun 1946 hukum pidana Indonesia mengenal
suatu jenis pidana pokok yang baru yaitu :
Pidana tutupan
Pidana
tutupan ini pada hakekatnya adalah pidana penjara, namun dalam hal mengadili
orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati maka hakim boleh menjatuhkan pidana
tutupan.
Sehubungan
dengan jenis-jenis sanksi pidana di atas, ada beberapa hal yang harus diketahui
dan patut dicatat sebagai suatu yang sangat penting dalam soal pemidanaan yaitu
:
1.
KUHP tidak mengenal suatu kumulasi (campuran) dari pidana pokok yang diancamkan
bagi suatu tindak pidana tertentu khususnya pidana penjara dan pidana denda.
Artinya hakim tidak dibenarkan untuk menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara
bersama-sama terhadap seorang terdakwa.
a.
Menurut Memory van Tulijkting
Penjatuhan dari 2
jenis pidana pokok secara bersama-sama bagi seorang yang telah melakukan tindak
pidana tertentu tidak dapat dibenarkan dengan alasan : Bahwa pidana berupa
perampasan kemerdekaan dengan pidana berupa denda mempunyai sifat dna tujuan
yang sama.
Meskipun demikian di
dalam UU Pidana Khusus (UU pidana di luar KUHP) telah terjadi perkembangan baru
yang memungkinkan untuk menerapkan kumulasi pidana.
b.
Menurut Prof. Simons
Penjatuhan dari 2
macam pidana pokok pada suatu saat yang sama bagi seorang yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana
tertentu dapat dibenarkan khususnya apabila tindak pidana tersebut telah
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu keuntungan. Ex : UU anti
korupsi.
Dengan dianutnya kumulasi-kumulasi pidana dalam waktu
tersebut maka hakim diperkenankan untuk menjatuhkan 2 jenis pidana sekaligus
yaitu:
a.
Pidana penjara
b.
Pidana denda
Dalam
arti kata dalam kasus tindak pidana korupsi hakim diberi oleh UU kekuasaan/alternatif
untuk menjatuhkan pidana penjara saja/pidana denda saja/kedua-duanya.
2.
Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan selalu hanya
dapat dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pidana pokok. Artinya : Pidana
tambahan akan tergantung pada pidana pokok sehingga hakim tidak dapat
menjatuhkan pidana tambahan saja tanpa pidana pokok.
Di
samping menurut sistem pemidanaan yang dianut hakim pidana kita penjatuhan
pidana tambahan itu sendiri sifatnya addat fakultatif maksudnya : Hakim
tidaklah selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan pada waktu ia
menjatuhkan pidana pokok pada seorang terdakwa. Hal itu sepenuhnya diserahkan
pada pertimbangan hakim, sehingga ia bebas menentukan besarnya pidana tambahan.
Perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan :
1.
Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan pengecualian,
perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diserahkan
kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita, sehingga
pidana tambahan dapat ditambahkan dengan tindakan, bukan pada pidana pokok.
2.
Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim yakin mengenai tindak
pidana dan kesalahan terdakwa hakim tersebut tidak harus menjatuhkan pidana
tambahan, kecuali untuk pasal 250, 250 BIS, 261 dan 275 KUHP. Yang bersifat
imperatif, sebagaimana hakim harus menjatuhkan pidana pokok jika tindak pidana
dan kesalahn terdakwa terbukti. Dalam penerapannya tiap-tiap pasal dalam KUHP
digunakan sistem alternatif, artinya bila suatu tindak pidana hakim hanya boleh
memilih salah satu saja. Hal ini berbeda dengan sistem kumulatif, dimana hakim
dapat memilih lebih dari satu jenis pidana, bahkan diantara pasal-pasal KUHP
terdapat pasal-pasal yang hanya mengancam secara tunggal dalam arti terhadap
pelaku tindak pidana hakim harus menjatuhkan jenis yang diancam tersebut.
A. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Kejahatan-kejahatan
yang diancam dengan pidana mati adalah :
-
Makar, membunuh kepala Negara (pasal 104)
-
Mengajak Negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 3 ayat 2)
-
Member pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang (pasal 24
ayat 3)
-
Membunuh kepala Negara sahabat (pasal 140 ayat 3)
-
Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan 340)
-
Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam
atau dengan jalan membongkar dan sebagainya yang menjadikan ada orang yang
terluka berat atau mati (pasal 365 ayat 4)
-
Pembajakan dilaut, pesisir, di pantai dan di kali sehingga ada orang mati
(pasal 444)
-
Pada waktu perang menganjurkan huru hara, pemberontakan dan sebagainya (pasal
124)
-
Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal
127 dan 129)
-
Pemerasan dengan pemberatan pasal 36b ayat 2
Pidana
mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan dengan mempergunakan sebuah
jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan
menjatuhkan papan tempat orang tiu berdiri. Cara ini ialah menurut pasal 11
KUHP yang dipakai Indonesia.
Akan
tetapi, kemudian pelaksanaan pidana mati ditiang gantungan diubah dengan cara
lain, yaitu dengan cara ditembak sampai mati, sehingga ketentuan pasal 11
tersebut sudah tidak ada lagi. Perubahan cara pelaksanaan pidana mati itu
dilakukan didasari Penetapan Presiden (PenPres) nomor 2 tanggal April 1964.
Penetapan Presiden itu kemudian dengan Undang-Undang Nomor 5 1969 ditetapkan
menjadi undang-undang. Sehingga ia dikenal dengan sebutan Undang-Undang Nomor 2
PNPS tahun 1964.
Tentang
pelaksanaan pidana mati diatur dalam pasal 2 sampai pasal 16 Undang-Undang
Nomor 2 PNPS tahun 1964 yang pada prinsipnya menentukan hal-hal sebagai berikut
:
a. Dalam jangka waktu 3x24 jam
sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya
pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu
maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa
tersebut.
b. Apabila terpidana merupakan seorang
wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan pidana mati ditunda hingga anak yang
dikandungnya itu lahir.
c. Tempat pelaksanaan pidan mati
ditentukan oleh menteri kehakiman, yakni didaerah hukum dari pengadilan tingkat
pertama yang telah memutus pidana mati yang bersangkutan.
d. Kepala polisi dari daerah yang
bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan mati tersebut setelah
mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau jaksa yang telah melakukan penuntutan
pidana pada peradilan tingkat pertama.
e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan
oleh satu regu penembak polisi dibawah pimpinan dari seorang perwira polisi.
f. Kepala polisi dari daerah yang
bersangkutan (perwira yang ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan pidana mati
sedangkan pembela dari terpidan atas permintaanya sendiri atau atas permintaan
terpidana dapat menghadirinya.
g. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh
dilakukan dimuka umum. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga
atau kepada sahabat-sahabat terpidana dan harus dicegah pelaksanaan penguburan
bersifat demonstrasi, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau
jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain.
h. Setelah pelaksanaan mati itu selesai
dilaksanakan, maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus membuat
berita acara mengenai pelaksanaan pidan mati tersebut, dimana isi dari berita
acara tersebut kemudian harus dicantumkan didalam surat keputusan dari
pengadilan yang bersangkutan.
b. Pidana
Penjara
Pidana
penjara adalah bentuk pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak yang
dihukum dengan menutup atau menempatkan terpidana didalam sebuah LAPAS dengan mewajibkannya
untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam LAPAS tersebut.
Pengaturan tentang pidana penjara didalam KUHP dirumuskan dalam pasal 12 KUHP.
Pasal 12 berbunyi:
(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau
selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu
paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu
boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang
pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan
pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup
dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima
belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan
atau karena ditentukan pasal 52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu
sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Pasal 13 berbunyi :
Para terpidana
dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan
Orang-orang
yang menjalani pidana penjara dibagi dalam beberapa golongan atau kelas,
pembagian kelas – kelas terpidana penjara itu lebih lanjut diatur dalam
peraturan kepenjaraan.
Sehubungan
dengan hal tersebut pada pasal 12 ayat 1 UU No. 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di
LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar :
1.
Umur
2.
Jenis kelamin
3.
Lama pidana yang dijatuhkan
4.
Jenis kejahatan
5.
Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan dan pembinaan.
Stelsel
pidana Indonesia menurut KUHP membedakan pidana penjara ke dalam 2 bentu,
yaitu:
1. Pidana penjara seumur hidup
2. Pidana penjara selama waktu
tertentu
Pengaturan
tentang pidana penjara di dalam KUHP dirumuskan dalam beberapa pasal,
diantaranya adalah pasal 12 KUHP yang berbunyi :
(1) Pidana penjara adalah seumur hidup
atau selama waktu tertentu
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu
paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu
boleh dijatuhkan untuk 20 tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang
pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup
dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas 15 tahun
dapat dilampaui karena perbarengan, pengulangan atau karena yang ditentukan
dalam pasal 52 dan 52 bis (Lembaga Negara 1958 No 127)
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu
sekali-kali tidak boleh lebih dari 20 tahun.
Dari
pasal tersebut diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu dapat dijatuhkan seumur
hidup atau selama jangka waktu tertentu, yaitu minimal 1 hari, maksimal 15
tahun yang dalam hal-hal tertentu dapat dilampaui, namun tidak boleh melebihi
20 tahun.
Menurut
ketentuan pasal 13 KUHP, orang-orang yang menjalani pidana penjara dibagi dalam
beberapa golongan (kelas). Pembagian kelas-kelas terpidana penjara itu lebih
lanjut diatur dalam peraturan penjara.
Sehubungan dengan hal tersebut, pasal 12 KUHP
ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan menentukan bahwa dalam
rangka pembinaan terhdap narapidana di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) dilakukan
penggolongan atas dasar :
a) Umur
b) Jenis kelamin
c) Lama pidana yag
dijatuhkan
d) Jenis kejahatan
e) Krtiteria lainnya
sesuia dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
Ditegaskan
pula di dalam pasal 13 UU Pemasyarakatan tersebut, bahwa penggolongan
narapidana itu lebih lanjut diatur dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
c.
Pidana Kurungan
Pidana
kurungan terdiri dari :
-
Kurungan principle
Lamanya minimal 1
hari maksimum 1 tahun, dan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan dalam hal –
hal gabungan tindak pidana, penggabungan tindak pidana dan aturan dalam pasal
52 KUHP.
-
Kurungan Subsidair
Lamanya minimal 1
hari maksimum 6 bulan dan dapat ditambah sampai 8 bulan dalam ini gabungan
tindak pidana, pengulangan tindak pidana dan aturan pelanggaran dalam pasal 52
KUHP.
Pidana
kurungan pengganti denda ini dapat dikenakan kepada seseorang yang dijatuhi
pidana denda yakni apabila ia tidak dapat/tidak mampu untuk membayar denda yang
harus dibayarnya.
Perbedaan pidana penjara dan pidana kurungan antara
lain :
1. Pidana penjara dapat dijatuhkan dalam LAPAS
dimana saja sedangkan pidana kurungan tidak dapat dijalankan diluar daerah
dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu dijatuhkan.
2. Orang yang dipidana penjara pekerjaaannya
lebih berat daripada pidana kurungan dan tanpa waktu bekerja tiap hari bagi
terpidana penjara selama 9 jam sedangkan bagi pidana kurungan hanya 8 jam.
3. Orang – orang yang dipidana kurungan
mempunyai hak pistole yaitu hak untuk memperbaiki keadaannya dalam rumah
penjara atas biaya sendiri sedangkan terpidana penjara tidak memiliki hak
tersebut.
d. Pidana Denda
Pidana
denda ditujukan kepada harta benda orang. Pidana denda ini biasa
diancamkan/dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan yakni berupa pelanggaran
atau kejahatan ringan, oleh karena itu pidana denda adalah satu-satunya jenis
pidana pokok yang dapat dipikul orang lain selain terpidana, artinya walaupun
pidana denda dijatuhkan kepada seorang terpidana namun tidak ada halangan denda
itu dibayar oleh orang lain atas nama terpidana. Dalam KUHP pengaturan pidana
denda ini diatur dalam pasal 30 dan 31 KUHP, menentukan hal sebagai berikut :
Pasal
30 KUHP berbunyi :
-
Pidana denda paling sedikit adalah Rp. 3, 75 sen
-
Jika pidana denda tidak dibayar ia diganti demgam pidana kurungan
-
Lamanya kurungan pengganti sedikitnya 1 hari dan paling lama 6 bulan.
-
Pengganti ditentukan sbb, jika tindak pidana Rp.7,5 Sen atau kurungan dihitung
1 hari, jika lebih Rp. 7,5 sen maka tiap – tiap itu kelebihan itu dihitung 1
hari demikian pula sisanya yang tidak cukup Rp. 7,5 sen.
-
Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan
atau karena ketentuan pasal 52 KUHP maka pidana kurungan pengganti paling lama
dapat menjadi 8 bulan.
-
Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih 8 bulan.
Pasal
31 KUHP berbunyi :
-
Terpidana denda dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas
waktu pembayaran denda.
-
Setiap waktu ia berhak dilepas dari kurungan pengganti jika ia membayar
dendanya.
-
Pembayaran sebahagian pidana denda baik sebelum maupun sesudah mulai
menjalankan pidana kurungan pengganti membebaskan terpidana dari sebahagian
pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
B.
Pidana Tambahan
a. Pencabutan
Hak-Hak Tertentu
Merupakan
pidana tambahan yang diatur dalam pasal 35 ayat (1) KUHP. Hak-hak yang dapat
dicabut itu antara lain :
-
Hak untuk mendapat segala jabatan/jabatan yang tertentu dengan maksud
dengan jabatan itu yaitu :
· Tugas kepala negara/bagian-bagian dari negara
· Hak untuk angkatan bersenjata
· Hak ilmu aktif dan pasif anggota DPR
· Hak untuk menjadi penasehat, wali dan lain-lain
· Hak kuasa bapak dan sebagainya
· Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu yaitu segala pekerjaan yang
bukan pegawai negeri.
Pencabutan
beberapa hak tertentu ini diberikan apabila/kepada :
-
Menyuruh melakukan dan mengeluarkan surat palsu kepada pembesar
negeri/pejabat pemerintah (dilihat pasal 317 KUHP)
-
Perbuatan memfitnah sehingga orang lain melakukan tindak pidana (pasal 318
KUHP)
-
Karena kekhilafan melakukan penahanan (pasal 334 KUHP)
-
Menggugurkan kandungan baik dengan izin/tanpa izin wanita yang hamil
tersebut (pasal 347 dan 348 KUHP)
-
Melakukan pembunuhan
-
Melakukan pencurian baik yang biasa/memberatkan/pencurian dengan
kekerasan/ancamannya berakibat luka/mati (pasal 362, 363, 365 KUHP)
-
Tindak pidana penggelapan
-
Tindak pidana penggelapan karena jabatan
-
Tindak pidana penggelapan karena keberadaannya berada pada suatu organisasi
(pasal 375 KUHP)
b. Perampasan
Barang-Barang Tertentu
Menurut pasal
39 KUHP ada 2 jenis barang yang dapat dirampas yaitu :
- Barang yang
dirampas dari suatu kejahatan.
· Misal : Uang palsu yang diperoleh karena kejahatan.
· Barang-barang ini disebut dengan Corpora Deliari
-
Barang yang digunakan untuk suatu
kejahatan
· Misal : Pisau/senpi yang digunakan untuk membunuh.
-
Barang-barang ini disebut dengan Intrumenta Deliari
Dengan
demikian pasal 39 KUHP ini memiliki 3 petunjuk data yaitu :
-
Yang dapat dirampas adalah barang yang diperoleh dari kejahatan dan barang
yang digunakan untuk kejahatan.
-
Hanya untuk kejahatan saja tidak untuk pelanggaran
-
Barang yang dirampas milik yang terpidana saja
Pidana
kurungan pengganti ada 2 bentuk yaitu :
-
Pidana kurungan pengganti denda
-
Pidana kurungan pengganti barang-barang
Seorang
terpidana dibebaskan dari terpidana kurungan apabila pidana kurungan pengganti
perampasan barang dimana pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan yang besarnya
sama dengan nilai yang dirampas.
Pidana
kurungan pengganti denda. Hanya dapat dibebaskan dengan membayar denda yang
ditetapkan dengan putusan hakim. Pidana kurungan ini dapat diperpanjang paling
lama 6 bulan. Sedangkan pidana kurungan pengganti barang tidak dapat
diperpanjang dari batas maximum 6 bulan.
c. Pengumuman Putusan Pidana Hakim
Senantiasa
diucapkan dimuka umum, akan tetapi bila dianggap perlu di samping sebagai
pidana tambahan putusan tersebut akan langsung disiarkan sejelas-jelasnya
dengan cara yang ditentukan oleh hakim, misalnya :
-
Melalui televisi
-
Melalui radio
-
Melalui surat kabar dan lain-lain
Semuanya itu
atas ongkos orang yang dihukum yang dapat dipandang sebagai suatu pengecualian
karena pada umumnya penyelenggaraan hukuman itu harus dipikul oleh negara.
C. Pidana Tutupan
Pidana
tutupan ini di tambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946,
yang dimaksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan
bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan
pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak
dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian
rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Tempat
dan menjalani pidana tutupan serta segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan
UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1948, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Tutupan.
Di
dalam Peraturan Nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah tutupan itu
berlaku berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan) karena keadaan
rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari yang ada
pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam Pasal 55 ayat 2 dan 5,36 ayat 1
dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa makanan orang pidana tutupan harus
lebih baik dari makanan orang dipidana penjara. Uang rokok bagi yang tidak
merokok diganti dengan uang seharga rokok tersebut.
Dari
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1984 tersebut, dapat
diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendaptkan fasilitas dari
pada nara pidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan
itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang
didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Berdasarkan
bunyi Pasal 1 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang
berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaan hanyalah terletak
pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak
pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undang-undang
itu maupun PP Pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang
patut dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya
kepada hakim.
Dalam
praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan
pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum diindonesia, pernah terjadi
hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah
Tentara Agung RI pada Tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku
kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.
IV. Lembaga-lembaga pemidanaan
penindakan dan kebijaksanaan
Yang
dimaksud dengan lembaga pemidanaan bukanlah lembaga-lembaga dimana para
terpidana hrus menjalankan pidana mereka atau yang dewasa ini dikenal dengan lembaga
pemasyarakatan, melainkan lembaga-lembaga hukum yang disebutkan didalam hukum
positif yang secara langsung ada hubungannya dengan pemidanaan-pemidanan yang dilakukan oleh hakim, dan termasuk pula
kedalam pengertiannya yaitu lembaga-lembaga pemasyarakatan seperti yang telah disebut diatas.
Lembaga
Pemasyarakatan (disingkat LP
atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana
dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia.
Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan
istilah penjara.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada
dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan
narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan di sebut dengan Petugas
Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan istilah sipir penjara.
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo
pada tahun 1962,
dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan
hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang
yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LP di Indonesia mencapai 97.671
orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141 orang.
Maraknya peredaran narkoba di
Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over kapasitas pada tingkat
hunian LAPAS.
A.
Pidana Bersyarat
Pidana
bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) terdapat pada pasal 14 KUHP. Pidana
bersyarat adalah : Suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim digantungkan
pada syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.
Ketentuan
tentang pidana bersyarat itu terdapat pada pasal 14a – 14 f KUHP diwaris dari Belanda, tetapi dengan
perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduanya. Ketentuan tentang
pidana bersyarat masih tetap terikat pada pasal 10 KUHP, hanya batas pidana itu
tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan.
Pasal
14 c KUHP menyatakan : Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama
atau pidana kurungan maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan bahwa
pidana tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang
memang lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau
karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang
ditentukan dalam perintah itu.
Pidana
bersyarat juga dapat diberikan karena pidana denda apabila hakim yakin bahwa
pembayaran denda betul-betul dirasakan berat oleh terpidana.
Berdasarkan
pasal 14 c ayat (1) di atas pidana bersyarat dapat diadakan apabila : Hakim
menjatuhkan pidana paling lama 1 tahun/pidana kurungan.
Jadi
yang menentukan bukanlah pidana penjara yang diancamkan melainkan pidana
penjara yang dijatuhkan pada terdakwa. Terpidana yang diberikan pidana
bersyarat haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a.
Syarat umum
Terpidana
bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan.
b.
Syarat khusus
Ditentukan
oleh hakim
Disamping
itu juga dapat ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana
yang harus dipenuhi dimana masa percobaan/selama sebagian masa percobaan.
Bilamana
syarat umum dan khusus tidak dipenuhi maka berdasarkan pasal 14 f ayat (1) KUHP
hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat
diperintahkan supaya putusan pidana dapat dijalankan/ memerintahkan supaya atas
namanya diberikan peringatan kepada terpidana.
Masa
percobaan dimulai sejak putusan tersebut mulai ditetapkan dan telah
diberitahukan kepada terpidana menurut tata cara yang ditentukan oleh UU.
Berdasarkan
pasal 14 b (3) KUHP : Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana berada
pada tahanan sementara.
Dalam
praktik, pengawasan oleh jaksa ini tidak berjalan semestinya. Seakan-akan
pengawasan hanya bersifat formalitas belaka. Dalam organisasi kejaksaan negeri,
tidak ada bagian khusus menangani pidana bersyarat yang sangat penting itu.
Setelah perjanjian antara terpidana dan jaksa seakan-akan masalah telah
selesai. Akan tetapi jaksa dapat juga memerintahkan kepada lembaga yang
berbentuk badan hukum atau kepada pimpinan suatu rumah penampungan atau kepada
pejabat tertentu supaya memberi bantuan kepada terpidana dalam memenuhi
syarat-syarat khusus.
Menurut
pasal 14 KUHP, selanjutnya pidana bersyarat itu diatur dengan undang-undang.
Undang-undang yang dimaksud adalah Abld.1926 No.251 jo.486, berlaku mulai
Januari 1927, diubah dengan Sbld.1934 No.172.
B. Tindakan dan kebijaksanaan
Yang
dimaksud dengan tindakan atau yang didalam bahasa belanda juga sering disebut
dengan perkataan Maatregel adalah
lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung
ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara-perkara pidana.
Akan tetapi yang bukan merupakan suatu
pemidanaan dan bukan pula merupakan suatu kebijaksanaan.
Salah satu lembaga hukum yang disebutkan oleh para
penulis Belanda yaitu tindakan atau maatregel adalah lemabag penempatan
seseorang dibawah pengawasan pemerintah atau lemabaga terbeschikingstelling van de regering, dimana seseorang itu dapat
dimasukkan kedalam suatu lemabaga pendidikan Negara atau dapat disebabkan
kepada seseorang, kepada sebuah lembaga atau kepada sebuah yayasan untuk
dididik sesuai dengan keinginan dari pemerintah, hingga orang tersebut mencapai
usia delapan belas tahun.
Tentang perbedaan antara pidana dan tindakan atau
pemidanaan dengan penindakan Hazewinkel-Suringa menjelaskan[30][30], bahwa suatu
pemidanaan itu pada hakikatnya merupakan suatu kebijakasanaan untuk memberikan
semacam penderitaan kepada seorang pelaku tindak pidana, sedangkan pada suatu
penindakan menurut hukum pidana unsure kesengajanan untuk emberikan semacam
penderitaan seperti itu tidak ada sama sekali.
Pemahaman yang lebih komprehensif tentang perbedaan
antara pidana (punishment) dengan
tindan (treatment) dikemukakan oleh
Alf Ross. Menurut Alf Ross[31][31] “concept of punishment” bertolak pada dua
syarat atau tujuan, yaitu:
Pertama,
pidana ditunjukkan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan.
Kedua, pidana
itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku
Perbedaan antara pidana dan tindakan menurut Alf Ross
tidaklah didasarkan pada ada atau tidak adanya unsure yang pertama (unsure
penderitaan), akan tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsure kedua
(unsure pencelaan).
Bentuk-bentuk tindakan yang dikenal dalam hukum pidana
Indonesia diantaranya adalah penempatan seseorang dibawah pengawasan
pemerintah, penyerahan seorang anak kepada sebuah lembaga untuk dididik sesuai
dengan keinginan pemerintah sampai anak itu menjadi dewasa, dan pengembalian
seorang anak kepada orang tua atau walinya
Pasal 45 menyatakan bahwa :
“Dalam
hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu
perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah
diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan
kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492,
496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum
lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah
satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau
menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”.
Menurut
ketentuan pasal 45 KUHP, ada tiga kemungkinan yang dapat dilakukan oleh hakim
dalam hal memberikan sanksi terhadap seorang anak di bawah umur (belum berumur
16 tahun) yang bukti melakukan tindak pidana yaitu:
1.
Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya
atau pemeliharanya tanpa dipidana apapun, atau
2.
Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana
apapun, atau
3.
Menjatuhkan pidana.
Tentang batasan belum cukup umur atau belum dewasa (minderjaring) tidak ditemukan adalah
seragaman atau kesamaan dinatara berbagai undang-undang yang berlaku di
Indonesia. Ketentuan hukum perdata mencantumkan, bahwa yang dimaksud dengan
anak dibawah umur adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya
tidak kawin (pasal 330 KUHPerdata). Akan tetapi KUHP menentukan batas usia
belum dewasa itu adalah merekan yang melakukan kejahatan sebelum berusia 16
tahun. Namun dewasa ini yang dipakai sebagai ukuran yuridis untuk menentukan
usia belum dewasa itu adalah ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan anak, yang menentukan bahwa batas usia belum dewasa itu adalah 18
tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 angka 1).
Penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak nakal
yang melakukan kejahatan dalam Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang pengadilan
anak dilakukan dengan cara :
1.
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak
Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa
perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran
ganti rugi diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. Mengembalikan
kepada orang tua, wali, orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada
negara untuk mengikuti pendidikan,pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada
Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat
tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Keistimewaan penjatuhan sanksi bagi anak yang melakukan kejahatan bila
dibandingkan dengan orang dewasa adalah, didalam putusan hakim dapat ditentukan
supaya yang bersalah kepada orang tuanya tanpa pidana apapun. Biasanya bila
hakim meyakini akan perbuatan pidana dan kesalahan seseorang, maka hakim akan
menjatuhkan pidana, sekalipun ada hal yang meringankan. Akan tetapi dalam hal
anak nakal tidaklah demikian.
Meskipun penempatan seorang anak nakal dibawah pengawasan pemerintah untuk
dididik atau dibina dapat disebut sebagai suatu tindakan dan bukan merupakan
suatu pidana, namun kiranya tidak dapat disangkal, bahwa tindakan seperti itu
juga membawa suatu penderitaan bagi anak.
Dengan keterangan seperti tersebut diatas Lamintang menyimpulakan[32][32] bahwa yang dimaksud
dengan tindakan (maatregel) adalah
lembaga-lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung
ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara pidana, akan
tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu kebijaksanaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah lembaga-lembaga hukum yang
disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan
putusan hakim dalam mengadili perkara pidana, akan tetapi yang bukan merupakan
suatu pemidanaan atau tindakan.
Di Nederland dikenal suatu jenis tindakan baru yang disebut ontrekking aan het verkeer (penarik
dari peredaran) yang disebut dalama pasal 35 b WvS Netherland. Disitu
disebutkan bahwa dengan putusan hakim, suatu benda yang telah disita dapat
ditarik dari perdaran:
1.Dengan putusan hakim yang telah menyatakan seseorang
yang telah melakukan suatu delik
2.Dengan putusan hakim berdasarkan pasal 9a tidak ada
pidana yang dijatuhkan.
Sebagaimana diketahui pasal 9a WvS Nederland merupakan
hasil sisipan yang menetukan bahwa seseorang dengan putusan hakim dapat
dinyatakan terbukti telah melakukan delik yang didakwakan namun karena kecilnya
arti perbuatan, keadaan pada waktu melakukan dan sesudah melakukan (ada
penyelesaian) maka tidak dijatuhkan pidana.Jadi, dalam hal itu benda yang telah
disita (barang bukti) dapat kenakan tindakan berupa penarikan dari peredaran.
3. Dengan putusan hakim, tidak dengan putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan ditentukan, bahwa suatu delik telah dilakukan.
4. Dengan penetapan hakim atas tuntutan penuntut umum.
Tindakan jenis ini mirip sekali dengan pidana tambahan
berupa perampasan. Bagaimana benda yang tidak bergerak, dapatkan dikenakan
tindakan jenis ini? Hazewinkel-Suringa menyatakan tidak dapat (Hazewinkel-Suringa
Remmelink, 1989:647).
Tindakan jenis ini dapat dikenakan bersama dengan
pidana dan tindakan yang lain, ketentuan semacam ini perlu dimasukan juga
kedalam rancangan KUHP baru.
Di Indonesia, sebenarnya dengan Undang-undang
Nomor 7 (drt) tahun 1955 tentang tindakan pidana ekonomi, telah diperkenalkan
beberapa jenis tindakan baru yang disebut “tindakan tata tertib” seperti yang
disebut dalam pasal 8 yang berbunyi sebagai berikut.
Tindakan tata tertib ialah:
a.Penetapan perusahaan siterhukum, dimana dilakukan
suatu tindakan pidana ekonomi di bawah pengampuan waktu selama-lamanya tiga
tahun, dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah kejahatan dan dalam hal
tindak pidana ekonomi itu adalah pelanggaran untuk waktu selama-lamanya 2
tahun.
b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan
sebanyak-banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga
tahun dalam hal tindak pidana ekonomi adalah kejahatan, dalam hal tindak pidana
ekonimi adalah pelanggaran, uang jaminan itu adalah sebanyak-banyaknya lima puluh
ribu rupiah untuk wwaktu selama-lamanya dua tahun.
c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai
pencabutan keuntungan menurut tafsiran yang diperoleh dari suatu tindak pidana
atau tindak pidana-tindak pidana semacam itu, dalam hal cukup bukti-bukti bahwa
tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh siterhukum.
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa
hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk
memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya siterhukum, sekedar
hakim tidak menetukan lain.
Jenis tindakan tata tertib ini dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana, kecuali dalam hal diberlakukan pasal 44 KUHP (tidak
dapat dipertanggungjawabkan) yang tersebut dalam butir b tidak dapat
diterapkan.
C. Pelepasan Bersyarat
Di samping pidana bersyarat, dikenal pula pelepasan bersyarat. Perbedaannya
ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali
jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim,
sedangkan pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya
paling lama dua per tiganya. Pelepasan bersyarat ini tidak imperative dan
otomatis. Dikatakan “dapat” diberikan pelepasan bersyarat.
Salah satu bentuk lembaga kebijaksanaan dalam hukum pidana kita adalah apa
yang dikenal dengan pembebasan bersyarat (pelepasan bersyarat), yaitu pelepasan dari kewajiban untuk menjalankan pidana
penjara.Hal tersebut diatur dalam pasal 15 sampai pasal 17 KUHP.
Pasal 15
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari
lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus
sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana
harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu dianggap sebagai
satu pidana.
(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan
pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu
pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada
dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Pasal 15a
(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum
bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang
tidak baik.]
(2)
Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan
terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan
berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat
dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan
pengawasan khusus yang semata- mata harus bertujuan memberi bantuan kepada
terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah
atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat
diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang
lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi
surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang
tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.
Pasal 15b
(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama
masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam
surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras
bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan
bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat
sampai menjalani pidana lagi, tidak termasuk waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis,
pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu
tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa
percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap.
Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih
dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan
pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh
Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara
tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal
terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering
Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu
juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal
terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering
Pusat.
(3)
Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana
dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat
dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan
bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar
syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan
penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika
penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan
pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya
mulai dari tahanan.
Pasal 17
Contoh
surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan
undang-undang.
Keputusan untuk memberikan
pelepasan bersyarat dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman setelah mendengar
pendapat penuntut umum dan tentu pejabat
lemabaga pemasyarakatan, yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama
menjalani pidana penjaranya.
Maksud pelepasan bersyarat sama
dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat
untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah, sebelum
diberikan pelepasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan
masak-masak kepentingan masyarakat yang menerima berkas terpidana. Harus
dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang
telah diperolehnya selama dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Pelepasan bersyarat dapat
diberikan pada terpidana adalah apabila ia telah menjalani dua pertiga dari
pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya atau sekurang-kurangnya 9 bulan (pasal
15 ayat 1 KUHP). Ketika memberikan pelepasan bersyarat, harus ditentukan pula
masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa
percobaan itu (pasal 15 ayat 2 KUHP). Masa percobaan itu sendiri lamanya adalah
sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun
dan untuk menentukan masa percobaan tidak ikut diperhitungkan waktu selama
terpidana berada dalam tahanan yang sah (pasal 15 ayat 3 KUHP).
Sementara itu, syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh terpidana dalam hal pelepasan bersyarat ini terdiri dari
sayarat umum dan syarat khusus :
1.
Sayarat umum merupakan keharusan bagi terpidana, bahwa selama masa percobaan
itu ia tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan-perbuatan tercela
lainnya (pasal 15 a ayat (1) KUHP). Syarat umum ini sifatnya adalah imperative.
2.
Syarat khusus ialah sesuatu yang berkenaan dengan perilaku terpidana, asalkan
syarat-syarat itu tidak membatasi kebebasannya untuk beragama dan kemerdekaan
berpolitik (pasal 15 a ayat (2) KUHP).
Menurut Schepper, advis dewan
reglasering untuk diberikannya pelepasan bersyarat meliputi hal berikut:
-
Sifat delik itu sendiri.
Bagaimana pendapat
masyarakat jiak diperikan pelepasan bersyarat, apakan tidak menimbulkan tindak
sewenang-wenang yang akan mengganggu ketertiban umum dan peradilan.
Termasuk pula
pertimbangan prevensi umum.
-
Sikap dan kepribadian terpidana, berkaitan dengan pandangan masyarakat
Indonesia, ini merupakan masalah sikap dan tingkah laku terpidana selama dalam
penjara.
-
Tinjauan terhadap penghidupan terpidana sesudah itu, pekerjaannya, bantuan
moral dan sanak keluarga atau dari reklasering (Jonkers, 1946:189).
Jika
terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan dalam surat
pelepasan (verlofpas), terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa
pidananya. Pelepasan bersyarat dapat dicabut kembali atas usul Jaksa di tempat
terpidana berdiam dengan pertimbanagn dewan pusat reklasering.
Jika
ia melanggar perjanjian atasu syarat-syarat yang ditentukan, sambil menunggu
putusan Menteri Kehakilan, Jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya selama
enam puluh hari. Jika waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan
tersebut, terpidana harus dikeluarkan dari tahanan.
Dikatakan
dalam pasal 6 ayat (3) bahwa jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu
selama dalam masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat
tersebut, jaksa dapat melakukan penahanan. Jika ada sangkaan kuat seperti
tersebut, dapat dilakukan penundaan (schorsing) oleh menteri kehakiman.
Perbedaan
antara penundaan (schorsing) dengan penahanan ialah sebagai berikut.
1.
Penundaan (Schorsing) oleh Menteri Kehakiman, sedangkan penahanan oleh jaksa
(dahulu asissten resident) dimana terpidana berdiam.
2.
Penundaan mengakibatkan terpidana langsung diperlakukan sebagai narapidana,
sedangkan penahanan bersifat preventif.
3.
Penundaan tidak ada jangka waktunya (berakhir pada waktu pidana berakhir),
sedangkan penahanan hanya untuk waktu 60 hari (Jonkers,1946:201)
Dalam
praktek, pengawasan terhadap orang yang dilepas bersyarat itu dilakukan ole
jaksa ditempay ia berdiam, dengan paraf pada buku pelepasan bersyarat yang
ditunjukkan oleh terpidana pada waktu ditentukan secara berkala.
Hal
yang tidak diatur dapat diberikan pelepasan bersyarat ialah pidana seumur hidup
sehingga pidana penjara seumur hidup benar-benar dapat dijalani seumur hidup.
Tidaklah mungkin dapat dihitung dua per tiga dari seumur hidup. Di Netherland
disebutkan bahwa dalam hal pidana penjara seumur hidup, dapat diberikan
pelepasan bersyarat jika pidana penjaranya telah dijalani selama tiga belas
tahun.
D. Izin hidup bebas diluar lembaga pemasyarakatan
Ketentuan ini diatur dalam pasal
20 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menentukan:
1.
Putusan hakim dapat ditetapkan, bahwa orang-orang yang dipidana dengan pidana
penjara atau pidana kurungan selama-lamanya satu bulan. Oleh jaksa dapat di
izinkan untuk dapat hidup secara bebas setelah jam kerja.
2.
Jika seorang terpidana yang untuk kepentingannya telah dibuatkan suatu
ketentuan yang tersendiri, bukan karena hal-hal yang tidak tergantung pada
kemauannya sendiri telah tidak hadir pada waktu dan di tempat yang telah
ditentukan untuk melakukan pekerjaannya, maka ia harus menjalankan pidananya
seperti biasa.
3.
Ketentuan seperti dimaksud dalam ayat (1) tidak diperlakukan pada waktu
melakukan tindak pidana, belum lampau waktu dua tahun sejak orang yang bersalah
mejalankan pidana penjara atau pidana kurungan.
Pembentuk undang-undang ternyata
telah tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dari
pembentuk-pembentukan pasal 20 KUHP tersebut, dan di dalam pasal 64 dari gestichtenreglement isinya hanya menentukan
bahwa:
1.
Orang-orang yang berdasarkan putusan hakim telah diizinkan untuk dapat hidup
secara bebas diluar lembaga pemasyarakatan setelah jam kerja, pada dasarnya
harus dipandang dan diperlakukan sebagai orang-orang yang bebas sesudah jam
kerja.
2.
Pabila mereka itu lain dari hal-hal yang tidak tergantung pada kemauan mereka
tidak hadir pada waktu dan ditempat yang telah ditentukan untuk melakukan
pekerjaan yang telah diperintahkan kepada mereka, atau apabila mereka itu
ternyata telah berperilaku secaa tidak baik, maka untuk selanjutnya mereka itu
harus menjalankan pidana meraka dengan cara yang biasa..
3.
Apabila dianggap perlu, maka untuk menampung orang terpidana seperti yang
dimaksudkan dalam ayat (1), dapat dibangun suatu tempat kediaman yang baik yang
letaknya harus berdekatan dengan lembaga pemasyarakatan.
V.Grasi
- Penghapusan Denda
- Perubahan / penggantian
- Pengurangan pidana (Jumlah)
- Pengurangan denda
UU grasi -- UU no. 22
tahun 2002, pengganti UU no. 1 tahun 1950
Berlakunya grasi
setelah putusan hakim yang incrahct.
A. Pengertian Grasi
Dalam
arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan
oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang
telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
Grasi
merupakan pengampunan yang dapat menimbulkan kesalah pahaman, seolah-olah
dengan adanya pengampunan dari kepala negara, lantas keseluruhan kesalahan dari
terpidana menjadi diampuni atau seluruh akibat hukum dari tindak pidana menjadi
ditiadakan. Untuk menghilangkan kesalahfahaman itu pengampunan tidak boleh
semata-mata diartikan sebagai sesuatu yang sama sekali menghilangkan akibat
hukum dari suatu tindak pidana yang dilakukan terpidana.
Artinya
pengampunan dimaksudkan tidaklah melulu berkenaan dengan diadakannya
penghapusan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakaim yang telah punya kekuatan
hukum tetap, melainkan juga dapat berkenaan :
1.
Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan hakim.
Misal : perubahan dari pidana mati menjadi
pidana penjara seumur hidup.
2.
Pengurangan lamanya pidana penjara, pidana tutupan dan pidana kurungan.
3.
Pengurangan besarnya uang denda seperti yang telah diputuskan hakim bagi
terpidana.
Menurut
VAN HAMMEL, grasi adalah suatu pernyataan dari kekuasaan yang tertinggi yang
menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik itu
menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun sebahagian.
Menurut
HATEWINKEL SURINGA , grasi adalah pemidanaan dari seluruh pidana atau
pengurangan dari suatu pidana (mengenai waktu, jumlah) atau perubahan mengenai
pidana tersebut.
Menurut
Pasal 1 UU no. 22 tahun 2002, Grasi diartikan sebagai pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanan pidana kepada
terpidana.
B. Bentuk – Bentuk Grasi
Didalam
ilmu pengetahuan hukum pidana peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim
bagi seorang terpidana yang telah punya kekuatan hukum tetap biasanya disebut
grasi dalam arti sempit. Akan tetapi secara komprehensif grasi dapat dibagi
dalam 4 bentuk :
1.
Grasi (dalam arti sempit) yaitu peniadaan pidana yang telah dijatuhkan oleh
hakim yang telah punya kekuatan hukum tetap.
2.
Amnesti, yakni suatu pernyataan secara umum menurut ditiadakannya semua akibat
hukum. Menurut hukum pidana dari suatu tindak pidana atau dari suatu jenis tindak
pidana tertentu bagi semua orang, yang mungkin saja terlibat dalam tindak
pidana tersebut, baik yang telah dijatuhi pidana maupun yang belum dijatuhi
pidana oleh hakim, baik yang sudah dituntut maupun yang belum dituntut, baik
yang disidik maupun yang yang belum disidik, baik yang diketahui maupun yang
tidak diketahui oleh kekuasaan yang syah.
3.
Abolisi, yaitu peniadaan dari hak untuk melakukan penuntutan menurut hukum
pidana atau penghentian dari penuntutan dari hukum pidana yang telah dilakukan.
4.
Rehabilitasi, yaitu pengembalian kewenangan hukum dari seseorang yang telah
hilang berdasarkan suatu putusan hakima taupun berdasarkan suatu putusan hakim
yang bersifat khusus (militer).
Menurut
Van Hamel, pengembalian kewenangan hukum yang tela hilang berdasarkan suatu
putusan hakim yang sifatnya khusus atau formal merupakan suatu kekhususan dari
grasi dalam arti yang sebenarnya.
C. Permohonan Grasi
Menurut
UU no. 22 tahun 2002 tentang grasi, diatur prinsip – prinsip dan tata cara
pengajuan grasi.
Ruang
lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut pasal 2 Undang-undang nomor 2002
adalah :
1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada
Presiden.
2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup,
penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
3. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya
dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi
tersebut; atau
b. terpidana yang
pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan
telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi
diterima.
Permohonan grasi
tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal
putusan pidana mati (pasal 3)
Presiden berhak
mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pemberian grasi oleh
Presiden dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
D.
Pengajuan permohonan grasi
Hak mengajukan grasi
diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus
perkara pada tingkat pertama.
Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan grasi
menurut pasal 6 Undang-undang Nomor 22 tahun 2002:
1 Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya
diajukan kepada Presiden.
2 Permohonan dapat diajukan oleh keluarga terpidana,
dengan persetujuan terpidana.
3 Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan
grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
E. Alasan – Alasan Mengajukan Grasi
Menurut
POMPE,
Adanya
kekurangan dalam UU yang dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa
menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah
diberikan kebebasan yang lebih besar, akan menyebabkan seseorang itu
dibebaskan, atau tidak diadili seperti overmacht.
VI. Amnesti
Amnesti
(dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang
mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah
secara hukum sebelumnya. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara
semisal badan eksekutif tertinggi, badan legislatif
atau badan yudikatif.
Di Indonesia,
amnesti merupakan salah satu hak presiden di
bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang
banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat
hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan
kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah
ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana
tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena
amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan
oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti
pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap
kepentingan negara.
VII. Abolisi
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan
pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan
keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan
pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka
tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh
keputusan pengadilan.
VIII. Rehabilitasi
Pompe berpendapat, bahwa lembaga rehabilitasi itu
tidak ada artinya hukum pidana yang bersifat merendahkan martabat manusia atau
apa yang disebut onterende straffen itu
tidak dikenakan didalam hukum pidana kita.
Tentang hal tersebut Pompe mengatakan bahwa:
Rehabilitasi itu dapat dirumuskan orang sebagai suatu
pernyataan tentang batalnya akibat-akibat menurut hukum pidana, yang menurut
hukum telah dikaitkan dengan pidana. Yang menjadi pokok permasalahan dalam hal
ini adalah masalaha pencabutan dari wewenang-wewenang, yakni yang misalnya
dapat terjadi didalam apa yang disebut pidana-pidana yang bersifat merndahkan
martabat manusia. Mengingat bahwa pidana-pidana tersebut tidak terdapat didalam
hukum pidana kita, maka lembaga rehabilitasi itu tidak mempunyai arti bagi
kita.
Menurut hemat penulis lembaga rehabilitasi itu tidak
selalu harus dihubungan dengan ada atau tidak adanya lembaga onterende straffen didalam hukum pidana
kita. Bukankah kita juga mempunyai lembaga pencabutan hak-hak tertentu sebagai
pidana tambahan? Bukankah hak-hak seperti itu apabila telah dinyatakan sebagai
dicabut dengan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap hanya dapat dipulihkan kembali oleh kepala Negara dengan lembaga
rehabilitasi?
Bagi kita di Indonesia, perlu atau tidak perlunya lembaga
rehabilitasi tersebut kiranya tidak dapat dipermaslahkan lagi, justru karena
lembaga rehabilitasi itu merupakan salah satu hak prerogratif dari kepala
Negara dan diakui di dalam UUD 1945 kita.
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam
rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan
hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah
dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula
atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini
terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak
tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya
Penjatuhan Pidana
IX. Ukuran-Ukuran
Dalam
Faktor-faktor yang
dapat dijelaskan pedoman di dalam penjatuhan pidana bersyarat yaitu :
a. Sebelum melakukan
tindak pidana tersebut dia :
1)
Belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya
2)
Terdakwa masih sangat muda
3)
Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar
4)
Terdakwa tidak menduga bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan
kerugian besar
5)
Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan atas hasutan orang lain yang
dilakukan dengan intensitas yang besar
6)
Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat yang cenderung untuk dapat dijadikan
dasar memaafkan perbuatannya
7)
Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut
8)
Terdakwa telah membayar ganti rugi/akan membayar ganti rugi kepada si korban
atas kerugian-kerugian/penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya
9)
Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin
terulang lagi
10)
Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan
tindak pidana lain
11)
Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang berat baik bagi
terdakwa atau keluarga.
12)
Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non
konstitusional
13)
Tindak pidana terjadi pada pihak keluarga
14)
Tindak pidana terjadi karena kealfaan
15)
Terdakwa sudah sangat tua
16)
Terdakwa adalah pelajar/mahasiswa
17)
Khusus terdakwa di bawah umur hakim kurang yakin dengan kemampuan orang tua
untuk mendidik
DAFTAR PUSTAKA
Andreae, Fockema,
Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, Binacipta, 1977
A.Z.Abidin Farid,
A.Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan
Delik (percobaan, penyertaan dan penggabungan delik) dan Hukum Penitensier, Jakarta,
PT RajaGrafindo,2006
Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dan Tindak
Kekerasan Dalam Penegakan Hukum Pidana,
Bahan Diskusi Panel RUU Kepolisian, 15 Juli 1997, Fakultas Hukum Undip
Harahap, Ikhran, Diktat Hukum
Penitensier,Fakultas Hukum UMSB
Priyatno, Dwidja, Sistem
Pelaksanaan Pidana Penjara, Refika Aditama, Bandung 2006
Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam
Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya),
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa
Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 1990
Teuku Muhammad Radie, Pembangunan Hukum Nasional
Dalam Perspektif Kebijakan Dalam IdentitasHukum Nasional, Fakultas Hukum
UII, Yogyakarta, 1997, hal. 203.
Baharudin Lopa, Etika Pembangunan Hukum Nasional
Dalam Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1997, hal.
17.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan
Masyarakat
Imly
Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1997
Koento Wibisono, Etika Pembangunan Hukum Nasional
Dalam Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1997, hal.
6.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial,
Alumni, Bandung, 1983, hal. 124.
Undang-undang nomo 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
http://eprints.undip.ac.id/18231/1/Slamet_Siswanta.pdf diakses
tanggal 4 Desember 2011 pukul 10.00
http://jilbabkujiwaku.blogspot.com/2011/02/proses-pemidanaan-terhadap-anak-di.html diakses tanggal 29 Mei 2012 pukul 19.10
Purnianti, Mamik Sri
Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and
Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa
Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia,
UNICEF, Indonesia, 2003
A.Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono,
Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum, Yogyakarta,
Liberty, 1985
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991
[1][1] Lihat Lamintang, Hlm 34
[2][2] Ibid, hlm 34-35
[3][3]. Muladi, Pidana dan Pemidanaan dalam
Muladi dan Barda Nawawi Aroef, Teori-teori
dan kebijakan pidana, Bandung:Alumni,Hlm 1
[5][5] W.P.J Pompe, 1959:3
[6][6] Hazewinkel-Suringa, 1989:3
[7][7] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni: 1996, hlm 109-110
[8][8] Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987,hlm 5
[9][9] Muladi Op cit Hlm 6
[10][10] Sudarto Op.cit hlm 71
[12][12] Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America :
An Introduction, Analisa Situasi Sistem
Peradilan Pidana Anak ( uvenile Justice System ) di Indonesia,
UNICEF, Indonesia, 2003, Hal.2
[13][13] A.Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono, Kejahatan
Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1985,
Hlm.31
[14][14] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, Hal. 219
[16][16] Kartini Kartono, Pathologi Sosial(
2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, Hal.7.
[19][19] http://jilbabkujiwaku.blogspot.com/2011/02/proses-pemidanaan-terhadap-anak-di.html
diakses tanggal 29 Mei 2012 pukul 19.17
[20][20]. M.
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum
Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2003, hlm 59
[22][22].
Ibid
[23][23].
Ibid, 24
[29][29].
Muladi, op.cit., hlm 27
[30][30] Lihat Lamintang,Op.cit, Hlm 173
[31][31] Lihat Muladi dan Barda Nawawi, Op
Cit hlm 4-5
[32][32] Lamintang,Op.cit,hlm 8-9